BAB
I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Setiap orang memiliki masa lalu,
baik masa lalu yang menyenangkan maupun masa lalu yang tidak menyenangkan.
Pengalaman yang menyenangkan biasanya akan menjadi sesuatu yang indah di dalam
hidup seseorang, sebaliknya pengalaman yang buruk akan menjadi sebuah tamparan
dalam hidup seseorang. Dan lazimnya, pengalaman buruk akan lebih mudah di ingat
dibandingkan dengan pengalaman yang baik. Tak jarang juga pengalaman yang buruk
dapat menyebabkan traumatic sepanjang kehidupan seseorang. Maka, ada beberapa
orang yang memperlakukan orang lain sesuai dengan apa yang telah ia alami,
dengan tujuan agar orang lain dapat merasakan apa yang ia rasakan.
Seperti kasus yang penulis angkat
dalam makalah ini, seorang dokter bernama Dr. Frederick Shipman, yang
memperlakukan orang lain sedemikian buruk agar orang lain dapat merasakan apa
yang ia rasakan. Dr. Fred merepress
kesedihannya dengan cara mencari kesenangannya yang telah hilang, yaitu
membunuh para lansia dengan memberi dosis obat yang salah atau berlebihan. Dr. Fred
melakukan ini agar orang lain dapat merasakan kesedihannya semenjak kepergian
ibunya yang sangat disayanginya. Dr. Fred memilih Destructiveness sebagai mekanisme pelarian dirinya.
Penulis mengangkat kasus ini, karena
penulis menganggap kasus ini banyak terjadi disekitar kita. Bukan hanya kasus
Dr. Fred, ada juga kasus yang sama-sama memilih Destructiveness sebagai mekanisme pelarian dirinya, namun kasusnya
tidak serumit kasus Dr. Fred . Kebanyakan kasus seperti ini langsung dijatuhi
jeratan hukum, tanpa melihat kondisi psikologis pelaku. Dan cara penulis akan
menganalisis kasus ini beberapa teori psikologi, agar dapat diselesaikan dengan
cara yang tepat dan sesuai dengan kondisi psikologis pelaku.
Destructiveness
adalah, suatu perilaku untuk menghancurkan seseorang atau objek. Dengan tujuan
mencari atau mendapatkan kekuasaan atau kesenangan seseorang yang telah hilang.
Destructiveness dapat terjadi jika
seseorang berada di situasi yang menyenangkan, namun tiba-tiba ada hal yang
merenggut kesenangannya. Atau dapat juga ditemui pada seseorang yang memiliki
kekuasaan, namun kekuasaannya tiba-tiba hilang atau diambil oleh orang lain.
Seseorang yang mengalami hal tersebut pasti akan terpukul, maka munculah
perilaku Destructiveness ini sebagai
hal yang dapat menutupi rasa sedih atau takutnya akan kehilangan sesuatu yang
sangat disukai. Seseorang tersebut akan melakukan hal yang buruk kepada orang
lain, dengan tujuan untuk membuat orang lain merasakan hal yang sama dengan
dirinya. Dengan melakukan hal tersebut maka sang pelaku dapat menimbulkan
kembali kesenangan.
Pada
kasus ini, Destructiveness terjadi
semenjak ia kehilangan ibunya, Dr. Fred sangat terpukul karena kehilangan
seseorang yang paling dekat dengannnya. Dr. Fred mengisolasi dirinya sendiri
dari lingkungan. Dengan sikapnya yang seperti itu munculah perilaku Destructiveness. Ia ingin orang lain
merasakan kesedihannya, maka ia membunuh para lansia karena ibu beliau pergi
meninggalkannya pada saat ibunya menginjak usia lansia.
Teori
psikologi yang dapat digunakan untuk menganalisis kasis ini, ada 3 dari
banyaknya teori psikologi, diantarannya Teori Psikoanalisis dari Sigmund Freud,
Teori Humanistic dari Erich fromm dan Teori Behaviour.
Penulis
mengangkat kasus ini karena menurut penulis, ini adalah kasus yang sering
terjadi di kehidupan kita, namun jarang sekali di analisis secara psikologis.
Menurut penulis, perilaku seseorang bisa di analisis dari beberapa sudut pandang
teori psikologi, dan juga dengan beberapa sudut pandang tersebut akan ada lebih
banyak cara lagi untuk menyelesaikan masalah seseorang.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
Kasus ini bisa di telaah dari beberapa teori
psikologi seperti Psikoanalisis, Humanistis, dan Behavioristik.
A. Teori
Psikoanalisis
Sigmund Freud mengengemukakan bahwa
kehidupan memiliki tiga tingkat kesadaran, yaitu sadar (conscious),
prasadar (preconscious), dan tak sadar (unconscious).
a) Sadar
(Conscious)
Tingkat
kesadaran yang berisi semua hal yang kita cermati pada saat tertentu. Menurut
Freud, hanya sebagian kecil saja dari kehidupan mental (pikiran, persepsi,
perasaan, dan ingatan) yang masuk ke kesadaran (consciousness). Isi
daerah sadar itu merupakan hasil proses penyaringan yang diatur oleh stimulus
atau cue-external. Isi-isi kesadaran itu hanya bertahan dalam waktu yang
singkat di daerah conscious, dan segera tertekan ke daerah preconscious
atau unconscious, begitu orang memindah perhatiannya ke yang lain.
b) Prasadar
(Preconscious)
Disebut juga available
memory, yakni tingkat kesadaran yang menjadi jembatan antara sadar dan tak
sadar. Isi preconscious berasal dari conscious dan clan unconscious. Pengalaman yang
ditinggal oleh perhatian, semula disadari tetapi kemudian tidak lagi dicermati,
akan ditekan pindah ke daerah preconscious. Materi preconscious bisa
muncul kesadaran dalam bentuk simbolik, seperti mimpi, lamunan, salah ucap, dan
mekanisme pertahan diri yang lain.
c) Tak
Sadar (Unconscious)
Bagian kesadaran ini
adalah bagian yang paling dalam dari struktur kesadaran menurut Freud, dan
merupakan bagian terpenting dari jiwa manusia. Secara khusus Freud membuktikan
bahwa ketidaksadaran bukanlah abstraksi hipotik, tetapi itu adalah kenyataan
empiric. Ketidaksadaran berisi insting, impuls, dan drives yang dibawa dari
lahir, dan juga pengalaman-pengalaman traumatic. Materi dalam ketidaksadaran
memiliki kecenderungan yang kuat untuk bertahan secara terus menerus dalam
ketidaksadaran, pengaruhnya dalam mengatur tingkah laku sangat kuat namun tetap
tidak disadari.
Berikutnya adalah tiga prinsip
kesenangan menurut Freud, yang sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang,
yaitu :
a. Id
Id adalah system
kepribadian yang asli, dibawa sejak lahir. Dari id ini kemudian akan muncul ego
dan superego. Saat dilahirkan, id berisi semua aspek psikologis yang
diturunkan, seperti insting, impuls, dan drives.
Id beroperasi
berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle), yaitu berusaha
memperoleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit. Id hanya mampu membayangkan
sesuatu, tanpa mampu membedakan khayalan dengan kenyataan. Id juga tidak mampu
membedakan mana sesuatu yang benar dan mana yang salah. Jadi, khayalan
diperoleh secara nyata oleh id, yang memberikan kepuasan tanpa menimbulkan
ketegangan.
b. Ego
Ego berkembang
dari id agar orang mampu menangani realita, sehingga ego beroperasi mengikuti
prinsip realita (reality principle). Prinsip realita ini melalui secondary
process, yaitu berpikir realistic untuk menyusun rencana dari sesuatu yang
didorong id dan menguji apakah rencana itu menghasilkan objek yang dimaksud.
Ego adalah eksekutif
dari kepribadian, yang memiliki dua tugas utama yang pertama adalah, memilih
stimuli mana yang hendak direspon, atau insting mana yang akan dipuaskan.
Kedua, menentukan kapan dan bagaimana kebutuhan itu dipuaskan sesuai dengang
peluang yang resikonya minimal.
c. Superego
Superego
bersifat non rasional dalam menuntut kesempurnaan, superego akan menghukum
kesalahan ego, baik yang telah dilakukan maupun yang belum dilakukan atau masih
dalam pikiran. Superego juga seperti ego dalam hal mengontrol id, bukan hanya
menunda pemuasan tetapi merintangi pemenuhannya. Paling tidak, ada 3 fungsi
superego ;
1. Mendorong
ego menggantikan tujuan-tujuan realistic dengan tujuan-tujuan moralistic.
2. Merintangi
impuls id, terutama impuls seksual dan
agresivotas yang bertentangan dengan standard nilai masyarakat.
3. Mengejar
kesempurnaan.
B. Teori
Psikoanalisis Humanistis
Asusmsi Fromm yang paling mendasar
adalah bahwa kepribadian individu dapat dipahami hanya dalam sejarah manusia.
Fromm mrngambil sikap tengah mengenai sadar versus motivasi bawah sadar, dan
sedikit lebih menekankan motivasi sadar dan bersaing karena salah satu
ciri-ciri unik manusia adalah kesadaran diri. Fromm menegaskan, bagaimanapun,
bahwa kesadaran diri adalah berkat campuran dari banyaknya orang yang menindas
mereka demi karakter dasar untuk menghindari kecemasan.
Menurut Fromm ada dua kebutuhan
manusia, yakni menjadi bagian dari sesuatu, dan kebutuhan untuk memahami dunia.
a) Kebutuhan
Kebebasan dan Keterikatan
1. Relatedness
Kebutuhan untuk
mengatasi perasaan kesendirian dan terisolasi dari alam dan dari dirinya
sendiri. Kebutuhan ini juga bertujuan untuk bergabung fengan makluk yang lain
dan menjadi bagian dari sesuatu.
2. Rootedness
Kebutuhan ini
adalah kebutuhan untuk memiliki ikatan-ikatan yang membuatnya merasa nyaman di
dunia.
3. Transcendency
Karena individu
menyadari dirinya sendiri dari lingkungannya, mereka kemudia mengenali betapa
kuat dan menakutkannya alam semesta itu, yang membuatnya merasa menjadi tidak
berdaya. Lalu individu mengatasi rasa takutnya itu dengan cara berubah dari
makhluk ciptaan menjadi pencipta. Individu berjuang untuk mengatasi sifat pasif
dikuasai alam menjadi sifa aktif.
4. Unity
Kebutuhan untuk
berdamai dengan orang lain dengan cara berusaha untuk menjadi manusia seutuhnya
melalui berbagi cinta dan bekerja sama dengan orang lain.
5. Identity
Kebutuhan untuk
menjadi “aku”, kebutuhan untuk sadar akan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang
terpisah.
b) Kebutuhan
untuk Memahami dan Beraktivitas
1. Frame
of Orientation
Seperangkat
keyakinan mengenai eksistensi hidup, perjalan hidup-tingkah laku bagaimana yang
harus dilakukannya, yang mutlak dibutuhkan untuk memperoleh kesehatan jiwa.
2. Frame
of Devotion
Kebutuhan untuk
memiliki tujuan hidup yang mutlak. Mengarahkan pencarian makna hidup, menjadi
dasar dari nilai-nilai dan titik puncak dari semua perjuangan.
3. Excitation-Stimulation
Kebutuhan untuk
melatih system syaraf, untuk memanfaatkan kemampuan otak.
4. Effectivity
Kebutuhan untuk
menyadari eksistensi diri melawan perasaan tidak mampu dan melatih kompetensi
atau kemampuan.
Selain kebutuhan manusia terdapat juga
mekanisme pelarian diri menurut Fromm, yaitu
Authoritarianism. Dimana adanya kecenderungan untuk menyerahkan kemandirian
diri dan menggabungkannya dengan seseorang atau sesuatu di luar dirinya, untuk
memperoleh kekuatan yang dirasakan tidak dimilikinya.
a)
Sadisme
Sadisme
bertujuan untuk mengurangi kecemasan dasar dalam mencapai kesatuan atau lebih.
Sadism juga merupakan bentuk neurotic yang lebih parah dan lebih berbahaya
karena mengancam orang lain.
b)
Destructiveness
Destructiveness
tidak bergantung pada hubungan berkesinambungan dengan orang lain. Destructiveness
adalah menghancurkan seseorang atau suatu objek. Destructiveness merupakan
suatu usaha untuk mendapatkan kembali kekuasaan atau kesenangan yang hilang.
C. Teori
Behavioristik
Teori
ini menganalisa perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, digambarkan, dan
diramalkan. Behaviorisme tidak mempersoalkan apakah manusia itu baik atau buruk,
rasional atau emosional. Behaviorisme hanya ingin mengatahui bagaimana
perilakunya dikendalikan oleh factor-factor lingkungan. Dalam arti, secara
garis besar teori ini lebih menekankan pada tingkah laku saja.
Kronologi
Kasus
Dr.
Frederick Shipman, pembunuh berantai 215 pasien. Kisah tentang pembunuhan
berantai kurang pas jika tidak menyinggung sepak terjang seorang dokter dari
inggris, Dr. Harold Frederick Shipman. Sebagai seorang dokter, seharusnya sudah
menjadi kewajibannya menyembuhkan pasiennya.
Tapi, Dr. Fred malah memberikan
dosis mematikan diamorphin kepada banyak pasiennya yang kebanyakan
adalah lansia. Dari hasil peneyelidikan polisi Inggris, Fred setidaknya telah
membunuh 215 orang yang selama ini menjadi pasiennya. Tapi meski dihukum seumur
hidup plus tidak boleh dibebaskan dari penjara, Fred menyangkal semua tuduhan
itu.
Fred bekerja di sejumlah rumah sakit
seperti di Todmoren, West Riding, Yorkshire dan Hyde. Ia melakukan aksi
pembunuhan terhadap pasien-pasiennya dimulai pada 1975 dan berakhir pada 1998,
ketika polisi melakukan investigasi.
Di awal kariernya sebagai pembunuh,
Fred memberikan dosis berlebihan yang mematikan kepada 15 pasiennya. Aksi
dokter yang berprestasi itu terus berlanjut , dan menurut perkiraan polisi
Yorkshire, korban Fred lebih dari 250 orang.
Fred tidak hanya menghabisi nyawa
pasiennya, tetapi juga membuat sertifikat kematian mereka dan menuliskan factor
tua sebagai penyebab kematiannya itu. Sampai akhirnya, seorang dokter di
Brooker Surgery, Hyde, Dr Linda Reynold, mereka curiga atas tingginya angka
kematian pasien Fred. Bersama dokter lainnya, mereka pun melaporkan keganjalan
tersebut kepada polisi yang kemudian memulai investigasi atas kasus yang kemudian
dikenal sebagai Shipman Case itu, dan
penyelidikan disebut Shipman Inquiry.
Dari proses pengadilan yang berjalan
beberapa lama, Fred dinyatakan bersalah dan terbukti telah membunuh sedikitnya
215 orang yang kebnayakan adalah lansia. Dengan dinginnya, Fred menolak semua
tuduhan tersebut. Ia selalu beralasan kondisi kesehatan para orang tua itu
memang tidak bagus dan menyebabkan kematian. Namun Fred tidak dapat membuktikan
bahwa dirinya tidak bersalah. Ia pun harus mendekam di penjara dengan keamanan
tingkat tinggi di Dwakefield Prison, West Yorkshire.
Polisi hanya bisa meraba-raba
tentang segala alasan diballik tindakan brutak terhadap ratusan pasien Fred.
Menurut mereka, ada alasan yang kuat untuk menjadi penyebab Fred tega
menghabisi nyawa pasiennya.
Pertama, ia sangat menikmati
jalannya proses kematian orang-orang yang bisa ia saksikan langsung. Ia juga
sangat meresapi peran yang dimainkannya sebagai dokter yang mampu mengontrol
hidup dan mati seseorang.
Yang jelas, kehidupan Fred berubah
sejak ibundanya tercinta meninggal di usia 42 tahun akibat kanker paru-paru.
Fred yang merupakan anak kesayangan sang ibu dari tiga bersaudara tersebut
merasa tertekan dan berubah menjadi anak yang suka mengisolasi diri dikamar.
Ia pernah terjebak dalam
ketergantungan obat-obatan. Pada saat sudah menjadi dokter pun, ia sempat
bermasalah dengan narkotika dan lainnya sampai harus di rehabilitasi. Fred kemudian
kembali praktek sebagai dokter. Pada 13 January 2004, Fred di temukan tewas
gantung diri dikamar selnya. Kematian sang dokter pembunuh berantai itu
segaligus menutup misteri yang belum terungkap tentang motif dibalik aksi
mencabut nyawa para pasiennya itu.
Analisis
Kasus
Dalam kasus ini, Fred mengalami
traumatic yang tidak ia sadari secara langsung karena ia telah kehilangan
seseorang yang paling dekat dengannya yaitu ibunya. Traumatic ini terjadi
dipikiran bawah sadarnya (unconscious), dan secara tidak langsung ia
merepress apa yang ia rasakan. Lalu setelah adanya traumatic pada diri Fred ,
munculah sebuah struktur psikologis yang menghasilkan prilaku. Dimana Fred
membunuh pasien-pasiennya agar keluarga sang pasien dapat merasakan apa yang ia
rasakan saat ia kehilangan ibunya. Id nya mendorong Fred untuk memenuhi apa
yang dibutuhkan id. Namun, tindakan yang dilakukan melanggar superego. Jadi Fred
mengatakan bahwa pasiennya meninggal dunia karena memang factor usiannya.
Dari sisi teori Erich Fromm, hal
pertama yang menyebabkan perilakunya ini karena adanya kebutuhan menjadi
pencipta (Transdency). Fred yang merasa sendiri ini menutupi perasaan
ketakutannya itu dengan cara negative, yaitu dengan merusak orang lain. Lalu Fred
menggunakan mekanisme pelarian diri destructiveness. Dimana Fred selalu
berusaha untuk merusak atau menghilangkan orang lain. Dan cara yang dipilih Fred
adalah dengan membunuh orang lain.
Jika di tinjau dari teori Behavior,
perilaku Fred merupakan hasil dari proses belajar. Karena didalam teori ini
tidak ada hal yang dianggap baik ataupun dianggap buruk. Teori ini mementingkan
pembentukan reaksi atau respon dari hasil belajar dimana akan muncul perilaku
yang diinginkan. Selain itu teori ini
juga menganggap bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh penguatan
reinforcement dari lingkungan. Jika kasus Fred dalam teori ini tidak bisa
dianggap sebagai suatu yang baik maupun suatu yang buruk, secara factor
lingkunganlah yang memperkuat munculnya perilaku Fred.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Di masa kecilnya, Dr. Fred sangat
bergantung pada ibunya. Karena, Dr. Fred merupakan anak kesayangan ibunya,
selain itu beliau juga merupakan anak yang berprestasi. Namun, dokter yang
berprestasi itu mengalami depresi berat saat ibunya meninggal dunia akibat
kanker paru-paru pada usia 42 tahun. Dr. Fred sempat mengisolasi dirinya
dikamar dan sempat masuk ke dalam perangkap obat-obatan terlarang. Hal ini di
karenakan beliau mengalami kesedihan yang sangat mendalam. Akhirnya, munculah
id atau prinsip kesenangannya. Kebutuhan akan kesenangan tersebut akan
terpenuhi jika ia dapat melihat orang lain tersiksa, sama seperti yang ia
rasakan. Dr. Fred membutuhkan dirinya menjadi penguasa (transdency) yang dapat menentukan umur seseorang. Kebutuhannya ini
dipenuhi dengan mekanisme pelarian diri destructiveness
dari eruch Fromm.
Ia memberi dosis yang berlebihan
kepada pasiennya yang mayoritas adalah lansia. Ia mencari kesenangannya yang
hilang dengan melihat pasien-pasiennya tersiksa, beliau sangat menikmati proses
kematian pasiennya. Dan juga ia sangat puas jika melihat keluarga pasiennya
bersedih.
Karena ia mengetahui bahwa
perilakunya melanggar superego, maka
ia membuatkan sertifikat kematian untuk semua pasien yang ia bunuh. Beliau
mengatakan factor kematian pasien semata-mata karena factor usia.
Karena tingginya angka kematian
pasien Dr. Fred, timbulah kecurigaan dari rekannya, Dr. Linda Reynold. Lalu ia
mendiskusikan hal ini bersama rekan dokter yang lain. Mereka pun sepakat untuk
melaporkan hal ini kepada pihak yang berwajib. Saat terakhir penelitian kasus
tercatat korban dari Dr. Fred sedikitnya adalah 215 orang. Fred dipenjarakan,
namun pada tanggal 13 Januari 2004 beliau ditemukan tewas gantung diri dikamar
tahanannya. Sejak saat itu kasus Dr. Fred ditutup dan tidak diteliti secara
lanjut.
Saran
Destructiveness
bukanlah sebuah gangguan jiwa, melainkan hanya mekanisme pelariaan diri
seseorang untuk menghadapi masalah yang sedang dialami. Hal seperti itu
seharusnya tidak seharusnya di asingkan atau diisolasi dari libgkungan
ataupun langsung di jatuhkan jerat hukum
yang berat.
Ada baiknya sebagai seorang
psikolog, kita dapat menelaah kasus ini dari kacamata psikologi. Begitu banyak
teori psikologi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah semacam ini.
Setidaknya harus mengetahui terlebih dahulu keadaan psikologis pelaku, dan apa
motifnya melakukan tindakan ini.
Biasanya untuk mengetahui keadaan
psikologis seseorang, akan dilakukan tes psikologi dengan berbagai macam tes,
salah satunya menjalin komunikasi dengan pelaku. Atau bisa juga memberi tes-tes
Psikodiagnostik, seperti tes Rorschach, dimana kartu-kartu tes memiliki makna
yang ambigu. Orang yang memiliki gangguan atau trauma biasanya akan
mempersepsikan gambar-gambar tersebut menjadi sesuatu yang menyeramkan.
Jika sudah mengetahui keadaan
psikologis pelaku, dan apa motif dibalik tindakannya, kita dapat mencari teori
psikologi yang tepat untuk mengatasi masalah ini. Beberapa teori psikologi
memiliki cara atau terapi untuk mengurangi gangguan yang dialami seseorang.
Kita dapat memilih terapi yang paling efektif untuk masalah ini. Maka kita tak
harus menghakimi pelaku dengan hujatan-hujatan, apalagi kekerasan baik verbal
maupun non verbal.
Selain itu, kita juga dapat
mendorong pelaku untuk melakukan terapi psikoanalisis, seperti terapi
psikoanalisis Analisis dan Penafsiran Resistensi dan Analisis dan Penafsiran Transferensi.
Dimana Analisis dan Penafsiran Transferensi bertujuan untuk mendorong client
menghidupkan kembali kehidupan masa lalunya dalam terapi. Setelah client
mengingat kehidupan dimasa lalunya, kita lakukan lagi Analisis dan Penafsiran Resistensi
yang bertujuan untuk menyadari alasan-alasannya dibalik resistensi sehingga
client bisa menanganinya sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Feist, J., &
Feist, G. J. 2014. Teori Kepribadian, Buku 1 Edisi 7. Jakarta : Salemba
Humanika
Feist, J., &
Feist, G. J. 2014. Teori Kepribadian,
Buku 2 Edisi 7. Jakarta : Salemba Humanika
Markam, S. S.,
& Slamet, Suprapti. I. S. 2007. Psikologi
Klinis. Jakarta :
Universitas
Indonesia
Prabowo,
Hendro., & Riyanti, Dwi. B. P. 1998. Psikologi
Umum 2. Jakarta :
Universitas Gunadarma
http://marwan-bajang.blogspot.com/2011/10/teori-belajar-behaviorisme-sosial.html
http://cellucello.blogspot.com/2013/03/terapi-psikoanalisis.html
0 comments:
Post a Comment