Thursday, July 2, 2015

DESTRUCTIVENESS SEBAGAI MEKANISME PELARIAN DIRI (KASUS DR. FREDERICK SHIPMAN)




BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
            Setiap orang memiliki masa lalu, baik masa lalu yang menyenangkan maupun masa lalu yang tidak menyenangkan. Pengalaman yang menyenangkan biasanya akan menjadi sesuatu yang indah di dalam hidup seseorang, sebaliknya pengalaman yang buruk akan menjadi sebuah tamparan dalam hidup seseorang. Dan lazimnya, pengalaman buruk akan lebih mudah di ingat dibandingkan dengan pengalaman yang baik. Tak jarang juga pengalaman yang buruk dapat menyebabkan traumatic sepanjang kehidupan seseorang. Maka, ada beberapa orang yang memperlakukan orang lain sesuai dengan apa yang telah ia alami, dengan tujuan agar orang lain dapat merasakan apa yang ia rasakan.
            Seperti kasus yang penulis angkat dalam makalah ini, seorang dokter bernama Dr. Frederick Shipman, yang memperlakukan orang lain sedemikian buruk agar orang lain dapat merasakan apa yang ia rasakan. Dr. Fred merepress kesedihannya dengan cara mencari kesenangannya yang telah hilang, yaitu membunuh para lansia dengan memberi dosis obat yang salah atau berlebihan. Dr. Fred melakukan ini agar orang lain dapat merasakan kesedihannya semenjak kepergian ibunya yang sangat disayanginya. Dr. Fred memilih Destructiveness sebagai mekanisme pelarian dirinya.
            Penulis mengangkat kasus ini, karena penulis menganggap kasus ini banyak terjadi disekitar kita. Bukan hanya kasus Dr. Fred, ada juga kasus yang sama-sama memilih Destructiveness sebagai mekanisme pelarian dirinya, namun kasusnya tidak serumit kasus Dr. Fred . Kebanyakan kasus seperti ini langsung dijatuhi jeratan hukum, tanpa melihat kondisi psikologis pelaku. Dan cara penulis akan menganalisis kasus ini beberapa teori psikologi, agar dapat diselesaikan dengan cara yang tepat dan sesuai dengan kondisi psikologis pelaku.
            Destructiveness adalah, suatu perilaku untuk menghancurkan seseorang atau objek. Dengan tujuan mencari atau mendapatkan kekuasaan atau kesenangan seseorang yang telah hilang. Destructiveness dapat terjadi jika seseorang berada di situasi yang menyenangkan, namun tiba-tiba ada hal yang merenggut kesenangannya. Atau dapat juga ditemui pada seseorang yang memiliki kekuasaan, namun kekuasaannya tiba-tiba hilang atau diambil oleh orang lain. Seseorang yang mengalami hal tersebut pasti akan terpukul, maka munculah perilaku Destructiveness ini sebagai hal yang dapat menutupi rasa sedih atau takutnya akan kehilangan sesuatu yang sangat disukai. Seseorang tersebut akan melakukan hal yang buruk kepada orang lain, dengan tujuan untuk membuat orang lain merasakan hal yang sama dengan dirinya. Dengan melakukan hal tersebut maka sang pelaku dapat menimbulkan kembali kesenangan.
Pada kasus ini, Destructiveness terjadi semenjak ia kehilangan ibunya, Dr. Fred sangat terpukul karena kehilangan seseorang yang paling dekat dengannnya. Dr. Fred mengisolasi dirinya sendiri dari lingkungan. Dengan sikapnya yang seperti itu munculah perilaku Destructiveness. Ia ingin orang lain merasakan kesedihannya, maka ia membunuh para lansia karena ibu beliau pergi meninggalkannya pada saat ibunya menginjak usia lansia.
Teori psikologi yang dapat digunakan untuk menganalisis kasis ini, ada 3 dari banyaknya teori psikologi, diantarannya Teori Psikoanalisis dari Sigmund Freud, Teori Humanistic dari Erich fromm dan Teori Behaviour.
Penulis mengangkat kasus ini karena menurut penulis, ini adalah kasus yang sering terjadi di kehidupan kita, namun jarang sekali di analisis secara psikologis. Menurut penulis, perilaku seseorang bisa di analisis dari beberapa sudut pandang teori psikologi, dan juga dengan beberapa sudut pandang tersebut akan ada lebih banyak cara lagi untuk menyelesaikan masalah seseorang.











BAB II
LANDASAN TEORI

            Kasus ini bisa di telaah dari beberapa teori psikologi seperti Psikoanalisis, Humanistis, dan Behavioristik.
A.    Teori Psikoanalisis
Sigmund Freud mengengemukakan bahwa kehidupan memiliki tiga tingkat kesadaran, yaitu sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tak sadar (unconscious).

a)      Sadar (Conscious)
Tingkat kesadaran yang berisi semua hal yang kita cermati pada saat tertentu. Menurut Freud, hanya sebagian kecil saja dari kehidupan mental (pikiran, persepsi, perasaan, dan ingatan) yang masuk ke kesadaran (consciousness). Isi daerah sadar itu merupakan hasil proses penyaringan yang diatur oleh stimulus atau cue-external. Isi-isi kesadaran itu hanya bertahan dalam waktu yang singkat di daerah conscious, dan segera tertekan ke daerah preconscious atau unconscious, begitu orang memindah perhatiannya ke yang lain.
b)     Prasadar (Preconscious)
Disebut juga available memory, yakni tingkat kesadaran yang menjadi jembatan antara sadar dan tak sadar. Isi preconscious berasal dari conscious dan  clan unconscious. Pengalaman yang ditinggal oleh perhatian, semula disadari tetapi kemudian tidak lagi dicermati, akan ditekan pindah ke daerah preconscious. Materi preconscious bisa muncul kesadaran dalam bentuk simbolik, seperti mimpi, lamunan, salah ucap, dan mekanisme pertahan diri yang lain.
c)      Tak Sadar (Unconscious)
Bagian kesadaran ini adalah bagian yang paling dalam dari struktur kesadaran menurut Freud, dan merupakan bagian terpenting dari jiwa manusia. Secara khusus Freud membuktikan bahwa ketidaksadaran bukanlah abstraksi hipotik, tetapi itu adalah kenyataan empiric. Ketidaksadaran berisi insting, impuls, dan drives yang dibawa dari lahir, dan juga pengalaman-pengalaman traumatic. Materi dalam ketidaksadaran memiliki kecenderungan yang kuat untuk bertahan secara terus menerus dalam ketidaksadaran, pengaruhnya dalam mengatur tingkah laku sangat kuat namun tetap tidak disadari.

Berikutnya adalah tiga prinsip kesenangan menurut Freud, yang sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang, yaitu :
           
a.      Id
Id adalah system kepribadian yang asli, dibawa sejak lahir. Dari id ini kemudian akan muncul ego dan superego. Saat dilahirkan, id berisi semua aspek psikologis yang diturunkan, seperti insting, impuls, dan drives.
Id beroperasi berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle), yaitu berusaha memperoleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit. Id hanya mampu membayangkan sesuatu, tanpa mampu membedakan khayalan dengan kenyataan. Id juga tidak mampu membedakan mana sesuatu yang benar dan mana yang salah. Jadi, khayalan diperoleh secara nyata oleh id, yang memberikan kepuasan tanpa menimbulkan ketegangan.

b.      Ego
Ego berkembang dari id agar orang mampu menangani realita, sehingga ego beroperasi mengikuti prinsip realita (reality principle). Prinsip realita ini melalui secondary process, yaitu berpikir realistic untuk menyusun rencana dari sesuatu yang didorong id dan menguji apakah rencana itu menghasilkan objek yang dimaksud.
Ego adalah eksekutif dari kepribadian, yang memiliki dua tugas utama yang pertama adalah, memilih stimuli mana yang hendak direspon, atau insting mana yang akan dipuaskan. Kedua, menentukan kapan dan bagaimana kebutuhan itu dipuaskan sesuai dengang peluang yang resikonya minimal.

c.       Superego
Superego bersifat non rasional dalam menuntut kesempurnaan, superego akan menghukum kesalahan ego, baik yang telah dilakukan maupun yang belum dilakukan atau masih dalam pikiran. Superego juga seperti ego dalam hal mengontrol id, bukan hanya menunda pemuasan tetapi merintangi pemenuhannya. Paling tidak, ada 3 fungsi superego ;
1.      Mendorong ego menggantikan tujuan-tujuan realistic dengan tujuan-tujuan moralistic.
2.      Merintangi impuls  id, terutama impuls seksual dan agresivotas yang bertentangan dengan standard nilai masyarakat.
3.      Mengejar kesempurnaan.

B.     Teori Psikoanalisis Humanistis

Asusmsi Fromm yang paling mendasar adalah bahwa kepribadian individu dapat dipahami hanya dalam sejarah manusia. Fromm mrngambil sikap tengah mengenai sadar versus motivasi bawah sadar, dan sedikit lebih menekankan motivasi sadar dan bersaing karena salah satu ciri-ciri unik manusia adalah kesadaran diri. Fromm menegaskan, bagaimanapun, bahwa kesadaran diri adalah berkat campuran dari banyaknya orang yang menindas mereka demi karakter dasar untuk menghindari kecemasan.






Menurut Fromm ada dua kebutuhan manusia, yakni menjadi bagian dari sesuatu, dan kebutuhan untuk memahami dunia.

a)      Kebutuhan Kebebasan dan Keterikatan
1.      Relatedness
Kebutuhan untuk mengatasi perasaan kesendirian dan terisolasi dari alam dan dari dirinya sendiri. Kebutuhan ini juga bertujuan untuk bergabung fengan makluk yang lain dan menjadi bagian dari sesuatu.
2.      Rootedness
Kebutuhan ini adalah kebutuhan untuk memiliki ikatan-ikatan yang membuatnya merasa nyaman di dunia.
3.      Transcendency
Karena individu menyadari dirinya sendiri dari lingkungannya, mereka kemudia mengenali betapa kuat dan menakutkannya alam semesta itu, yang membuatnya merasa menjadi tidak berdaya. Lalu individu mengatasi rasa takutnya itu dengan cara berubah dari makhluk ciptaan menjadi pencipta. Individu berjuang untuk mengatasi sifat pasif dikuasai alam menjadi sifa aktif.
4.      Unity
Kebutuhan untuk berdamai dengan orang lain dengan cara berusaha untuk menjadi manusia seutuhnya melalui berbagi cinta dan bekerja sama dengan orang lain.

5.      Identity
Kebutuhan untuk menjadi “aku”, kebutuhan untuk sadar akan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang terpisah.





b)     Kebutuhan untuk Memahami dan Beraktivitas
1.      Frame of Orientation
Seperangkat keyakinan mengenai eksistensi hidup, perjalan hidup-tingkah laku bagaimana yang harus dilakukannya, yang mutlak dibutuhkan untuk memperoleh kesehatan jiwa.
2.      Frame of Devotion
Kebutuhan untuk memiliki tujuan hidup yang mutlak. Mengarahkan pencarian makna hidup, menjadi dasar dari nilai-nilai dan titik puncak dari semua perjuangan.
3.      Excitation-Stimulation
Kebutuhan untuk melatih system syaraf, untuk memanfaatkan kemampuan otak.
4.      Effectivity
Kebutuhan untuk menyadari eksistensi diri melawan perasaan tidak mampu dan melatih kompetensi atau kemampuan.

Selain kebutuhan manusia terdapat juga mekanisme pelarian diri menurut Fromm, yaitu Authoritarianism. Dimana adanya kecenderungan untuk menyerahkan kemandirian diri dan menggabungkannya dengan seseorang atau sesuatu di luar dirinya, untuk memperoleh kekuatan yang dirasakan tidak dimilikinya.

a)      Sadisme
Sadisme bertujuan untuk mengurangi kecemasan dasar dalam mencapai kesatuan atau lebih. Sadism juga merupakan bentuk neurotic yang lebih parah dan lebih berbahaya karena mengancam orang lain.
b)     Destructiveness
Destructiveness tidak bergantung pada hubungan berkesinambungan dengan orang lain. Destructiveness adalah menghancurkan seseorang atau suatu objek. Destructiveness merupakan suatu usaha untuk mendapatkan kembali kekuasaan atau kesenangan yang hilang.

C.    Teori Behavioristik
Teori ini menganalisa perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, digambarkan, dan diramalkan. Behaviorisme tidak mempersoalkan apakah manusia itu baik atau buruk, rasional atau emosional. Behaviorisme hanya ingin mengatahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh factor-factor lingkungan. Dalam arti, secara garis besar teori ini lebih menekankan pada tingkah laku saja.

Kronologi Kasus

            Dr. Frederick Shipman, pembunuh berantai 215 pasien. Kisah tentang pembunuhan berantai kurang pas jika tidak menyinggung sepak terjang seorang dokter dari inggris, Dr. Harold Frederick Shipman. Sebagai seorang dokter, seharusnya sudah menjadi kewajibannya menyembuhkan pasiennya.
            Tapi, Dr. Fred malah memberikan dosis mematikan diamorphin kepada banyak pasiennya yang kebanyakan adalah lansia. Dari hasil peneyelidikan polisi Inggris, Fred setidaknya telah membunuh 215 orang yang selama ini menjadi pasiennya. Tapi meski dihukum seumur hidup plus tidak boleh dibebaskan dari penjara, Fred menyangkal semua tuduhan itu.
            Fred bekerja di sejumlah rumah sakit seperti di Todmoren, West Riding, Yorkshire dan Hyde. Ia melakukan aksi pembunuhan terhadap pasien-pasiennya dimulai pada 1975 dan berakhir pada 1998, ketika polisi melakukan investigasi.
            Di awal kariernya sebagai pembunuh, Fred memberikan dosis berlebihan yang mematikan kepada 15 pasiennya. Aksi dokter yang berprestasi itu terus berlanjut , dan menurut perkiraan polisi Yorkshire, korban Fred lebih dari 250 orang.
            Fred tidak hanya menghabisi nyawa pasiennya, tetapi juga membuat sertifikat kematian mereka dan menuliskan factor tua sebagai penyebab kematiannya itu. Sampai akhirnya, seorang dokter di Brooker Surgery, Hyde, Dr Linda Reynold, mereka curiga atas tingginya angka kematian pasien Fred. Bersama dokter lainnya, mereka pun melaporkan keganjalan tersebut kepada polisi yang kemudian memulai investigasi atas kasus yang kemudian dikenal sebagai Shipman Case itu, dan penyelidikan disebut Shipman Inquiry.
            Dari proses pengadilan yang berjalan beberapa lama, Fred dinyatakan bersalah dan terbukti telah membunuh sedikitnya 215 orang yang kebnayakan adalah lansia. Dengan dinginnya, Fred menolak semua tuduhan tersebut. Ia selalu beralasan kondisi kesehatan para orang tua itu memang tidak bagus dan menyebabkan kematian. Namun Fred tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Ia pun harus mendekam di penjara dengan keamanan tingkat tinggi di Dwakefield Prison, West Yorkshire.
            Polisi hanya bisa meraba-raba tentang segala alasan diballik tindakan brutak terhadap ratusan pasien Fred. Menurut mereka, ada alasan yang kuat untuk menjadi penyebab Fred tega menghabisi nyawa pasiennya.
            Pertama, ia sangat menikmati jalannya proses kematian orang-orang yang bisa ia saksikan langsung. Ia juga sangat meresapi peran yang dimainkannya sebagai dokter yang mampu mengontrol hidup dan mati seseorang.
            Yang jelas, kehidupan Fred berubah sejak ibundanya tercinta meninggal di usia 42 tahun akibat kanker paru-paru. Fred yang merupakan anak kesayangan sang ibu dari tiga bersaudara tersebut merasa tertekan dan berubah menjadi anak yang suka mengisolasi diri dikamar.
            Ia pernah terjebak dalam ketergantungan obat-obatan. Pada saat sudah menjadi dokter pun, ia sempat bermasalah dengan narkotika dan lainnya sampai harus di rehabilitasi. Fred kemudian kembali praktek sebagai dokter. Pada 13 January 2004, Fred di temukan tewas gantung diri dikamar selnya. Kematian sang dokter pembunuh berantai itu segaligus menutup misteri yang belum terungkap tentang motif dibalik aksi mencabut nyawa para pasiennya itu.






Analisis Kasus
            Dalam kasus ini, Fred mengalami traumatic yang tidak ia sadari secara langsung karena ia telah kehilangan seseorang yang paling dekat dengannya yaitu ibunya. Traumatic ini terjadi dipikiran bawah sadarnya (unconscious), dan secara tidak langsung ia merepress apa yang ia rasakan. Lalu setelah adanya traumatic pada diri Fred , munculah sebuah struktur psikologis yang menghasilkan prilaku. Dimana Fred membunuh pasien-pasiennya agar keluarga sang pasien dapat merasakan apa yang ia rasakan saat ia kehilangan ibunya. Id nya mendorong Fred untuk memenuhi apa yang dibutuhkan id. Namun, tindakan yang dilakukan melanggar superego. Jadi Fred mengatakan bahwa pasiennya meninggal dunia karena memang factor usiannya.
            Dari sisi teori Erich Fromm, hal pertama yang menyebabkan perilakunya ini karena adanya kebutuhan menjadi pencipta (Transdency). Fred yang merasa sendiri ini menutupi perasaan ketakutannya itu dengan cara negative, yaitu dengan merusak orang lain. Lalu Fred menggunakan mekanisme pelarian diri destructiveness. Dimana Fred selalu berusaha untuk merusak atau menghilangkan orang lain. Dan cara yang dipilih Fred adalah dengan membunuh orang lain.
            Jika di tinjau dari teori Behavior, perilaku Fred merupakan hasil dari proses belajar. Karena didalam teori ini tidak ada hal yang dianggap baik ataupun dianggap buruk. Teori ini mementingkan pembentukan reaksi atau respon dari hasil belajar dimana akan muncul perilaku yang diinginkan.  Selain itu teori ini juga menganggap bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh penguatan reinforcement dari lingkungan. Jika kasus Fred dalam teori ini tidak bisa dianggap sebagai suatu yang baik maupun suatu yang buruk, secara factor lingkunganlah yang memperkuat munculnya perilaku Fred.







BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Di masa kecilnya, Dr. Fred sangat bergantung pada ibunya. Karena, Dr. Fred merupakan anak kesayangan ibunya, selain itu beliau juga merupakan anak yang berprestasi. Namun, dokter yang berprestasi itu mengalami depresi berat saat ibunya meninggal dunia akibat kanker paru-paru pada usia 42 tahun. Dr. Fred sempat mengisolasi dirinya dikamar dan sempat masuk ke dalam perangkap obat-obatan terlarang. Hal ini di karenakan beliau mengalami kesedihan yang sangat mendalam. Akhirnya, munculah id atau prinsip kesenangannya. Kebutuhan akan kesenangan tersebut akan terpenuhi jika ia dapat melihat orang lain tersiksa, sama seperti yang ia rasakan. Dr. Fred membutuhkan dirinya menjadi penguasa (transdency) yang dapat menentukan umur seseorang. Kebutuhannya ini dipenuhi dengan mekanisme pelarian diri destructiveness dari eruch Fromm.
            Ia memberi dosis yang berlebihan kepada pasiennya yang mayoritas adalah lansia. Ia mencari kesenangannya yang hilang dengan melihat pasien-pasiennya tersiksa, beliau sangat menikmati proses kematian pasiennya. Dan juga ia sangat puas jika melihat keluarga pasiennya bersedih.
            Karena ia mengetahui bahwa perilakunya melanggar superego, maka ia membuatkan sertifikat kematian untuk semua pasien yang ia bunuh. Beliau mengatakan factor kematian pasien semata-mata karena factor usia.
            Karena tingginya angka kematian pasien Dr. Fred, timbulah kecurigaan dari rekannya, Dr. Linda Reynold. Lalu ia mendiskusikan hal ini bersama rekan dokter yang lain. Mereka pun sepakat untuk melaporkan hal ini kepada pihak yang berwajib. Saat terakhir penelitian kasus tercatat korban dari Dr. Fred sedikitnya adalah 215 orang. Fred dipenjarakan, namun pada tanggal 13 Januari 2004 beliau ditemukan tewas gantung diri dikamar tahanannya. Sejak saat itu kasus Dr. Fred ditutup dan tidak diteliti secara lanjut.


Saran
            Destructiveness bukanlah sebuah gangguan jiwa, melainkan hanya mekanisme pelariaan diri seseorang untuk menghadapi masalah yang sedang dialami. Hal seperti itu seharusnya tidak seharusnya di asingkan atau diisolasi dari libgkungan ataupun  langsung di jatuhkan jerat hukum yang berat.
            Ada baiknya sebagai seorang psikolog, kita dapat menelaah kasus ini dari kacamata psikologi. Begitu banyak teori psikologi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah semacam ini. Setidaknya harus mengetahui terlebih dahulu keadaan psikologis pelaku, dan apa motifnya melakukan tindakan ini.
            Biasanya untuk mengetahui keadaan psikologis seseorang, akan dilakukan tes psikologi dengan berbagai macam tes, salah satunya menjalin komunikasi dengan pelaku. Atau bisa juga memberi tes-tes Psikodiagnostik, seperti tes Rorschach, dimana kartu-kartu tes memiliki makna yang ambigu. Orang yang memiliki gangguan atau trauma biasanya akan mempersepsikan gambar-gambar tersebut menjadi sesuatu yang menyeramkan.
            Jika sudah mengetahui keadaan psikologis pelaku, dan apa motif dibalik tindakannya, kita dapat mencari teori psikologi yang tepat untuk mengatasi masalah ini. Beberapa teori psikologi memiliki cara atau terapi untuk mengurangi gangguan yang dialami seseorang. Kita dapat memilih terapi yang paling efektif untuk masalah ini. Maka kita tak harus menghakimi pelaku dengan hujatan-hujatan, apalagi kekerasan baik verbal maupun non verbal.
            Selain itu, kita juga dapat mendorong pelaku untuk melakukan terapi psikoanalisis, seperti terapi psikoanalisis Analisis dan Penafsiran Resistensi dan Analisis dan Penafsiran Transferensi. Dimana Analisis dan Penafsiran Transferensi bertujuan untuk mendorong client menghidupkan kembali kehidupan masa lalunya dalam terapi. Setelah client mengingat kehidupan dimasa lalunya, kita lakukan lagi Analisis dan Penafsiran Resistensi yang bertujuan untuk menyadari alasan-alasannya dibalik resistensi sehingga client bisa menanganinya sendiri.



DAFTAR PUSTAKA


Feist, J., & Feist, G. J. 2014. Teori Kepribadian, Buku 1 Edisi 7. Jakarta : Salemba Humanika
Feist, J., & Feist, G. J. 2014. Teori Kepribadian, Buku 2 Edisi 7. Jakarta : Salemba Humanika
Markam, S. S., & Slamet, Suprapti. I. S. 2007. Psikologi Klinis. Jakarta :
Universitas Indonesia
Prabowo, Hendro., & Riyanti, Dwi. B. P. 1998. Psikologi Umum 2. Jakarta :
            Universitas Gunadarma
http://marwan-bajang.blogspot.com/2011/10/teori-belajar-behaviorisme-sosial.html
http://cellucello.blogspot.com/2013/03/terapi-psikoanalisis.html
 

la Belle Template by Ipietoon Cute Blog Design